Senin, 14 Maret 2011

nyepi....

Keheningan Nyepi Menginspirasi Dunia
Teks Agung Wardana,
Setiap komunitas memiliki kearifan lokalnya masing-masing dalam mengatasi permasalahan di lingkungannya. Misalnya ‘sasih’ di Maluku, ‘rumah panjang’ di Dayak, dan banyak lagi. Di Bali, terdapat kearifan lokal dalam merayakan pergantian tahun yang bernama ‘nyepi.’ Nyepi sendiri memiliki empat prinsip utama yang dikenal dengan nama “Catur Berata Penyepian” yang terdiri dari tanpa api, tanpa kerja, tanpa kesenangan, dan tanpa bepergian selama sehari penuh.
Seperti kearifan lokal yang lain, Nyepi juga memiliki dampak yang baik bagi lingkungan hidup dan hubungan sosial dalam rangka membangun masyarakat yang damai dan berkelanjutan.
Pertama, Nyepi memiliki dampai positif terhadap lingkungan hidup. Selama Nyepi, setip orang Bali tinggal dalam rumah dan menurunkan konsumsinya terkait makanan, listrik, dan energi lainnya. Terdapat sekitar satu juta kendaraan bermotor di jalanan Bali dan mereka mengkonsumsi paling tidak dua liter bahan bakar setiap hari. Tak terhitung besarnya karbon dioksida yang dikeluarkan setiap harinya. Selain itu, pabrik, pelabuhan, dan bahkan bandar udara juga tak kalah besarnya mengeluarkan karbon dioksida akibat aktivitas mereka satu hari non-stop.
Namun, saat Nyepi, mereka menghentikan aktivitasnya selama 24 jam, jadi, begitu besar karbon dioksida pula yang bisa dicegah untuk berkumpul di atmosfir kita. Jadi, konsentrasi karbon dioksida, penyebab perubahan iklim, dapat diatasi secara local oleh kearifan lokal ini.
Tidak hanya itu, selain mengatasi perubahan iklim, Nyepi memberikan kesempatan kepada ekosistem bumi untuk bersiliensi. Aktivitas manusia sepanjang tahun telah membebani bumi, dan berpotensi untuk merusak ekosistemnya. Di sector perikanan misalnya, lebih dari 600 ton ikan ditangkap setiap harinya di Bali (BPS, 2009). Sepanjang Nyepi, aktivitas ini dihentikan selama sehari, sebagai akibatnya, sejumlah ikan dapat bertahan hidup dan dapat berkembang biak walau cuma membutuhkan waktu sehari saja.
Masyarakat Bali percaya bahwa Ibu Pertiwi membutuhkan istirahat, dan Nyepi telah memberikan ruang baginya untuk berisitirahat dan memperbaiki sistemnya dari kerusakan lebih jauh. Jadi, Ibu dapat tetap memberikan jasa layanan lingkungannya bagi seluruh kehidupan di bumi, terutama manusia, hingga di tahun berikutnya.
Lebih jauh, Nyepi menjaga hubungan sosial di antara masyarakat Bali. Saat ini, orang-orang kecanduan terhadap teknologi dan barang elektronik seperti telepon genggam, computer, laptop, TV, dan lain-lain. Terkadang, mereka melupakan hubungan social dan juga kondisi di sekelilingnya, dan menjadi individualistik. Selama Nyepi, orang-orang tinggal di rumah atau di komunitasnya serta mengisi waktunya untuk berinteraksi langsung dengan mereka.
Pada malam hari, kondisi rumah yang tanpa listrik dan gelap mampu menguatkan rasa kebersamaan di antara mereka untuk saling menjaga satu sama lain, terutama merawat mereka yang takut pada kegelapan, misalnya anak-anak. Maka, masyarakat Bali berjaga bersama melalui gelapnya malam menunggu hari baru dengan sinar mentari yang cerah dan udara yang segar di pagi esok.
Singkatnya, Nyepi dengan empat prinsip utama dari keheningan memberikan manfaat tidak saja bagi lingkungan hidup tetapi juga untuk hubungan social karena keheningannya mampu mengatasi perubahan iklim, memberikan ruang berpasa bagi bumi dan membawa orang kembali pada rasa kemanusiaannya.
Oleh karena itu, Nyepi menantang orang-orang di dunia untuk membangun masyarakat yang damai dan berkelanjutan. Bali bisa, bisakah anda? [b]
Perjalanan Panjang Mengheningkan Bumi
Oleh Agung Wardana
Perjalanan menuju Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP) 14 di Poznan, Polandia dan balik kembali ke kampung halaman memberikan makna bagi Saya, khususnya dalam kampanye World Silent Day. Persinggahan di antara hiruk pikuk lalu lintas manusia yang tiada henti di bandara-bandara besar dunia seperti London, Hongkong maupun Singapore adalah ruang kontemplasi diri.
Sambil duduk dan mengamati ribuan orang berlalu lalang, ada melihat papan pengumuman, hingga menyibukkan diri dengan teman sejati manusia modern, barang elektronik. Bak robot, mereka sibuk dengan program yang dipasang di kepala oleh sang programer masing-masing. Jangankan menawarkan pertolongan bagi orang lain yang sedang kebingungan atau pun butuh pertolongan, tegur sapa dan senyum hangat pun sirna di tempat itu.
Nampak, seorang bapak perlente melemparkan koin pada kotak sumbangan yang terpasang dengan poster anak Afrika kelaparan. Dan di saat suara koin bergemerincing, arah pandangan orang sekitar pun menuju dan menatap kagum akan kedarmawanan sang bapak.
Inikah dunia modern di mana lalu lintas manusia tanpa batas dan empati menjadi tontonan untuk menunjukkan bahwa kelas kita lebih tinggi? Masih dalam dialog imajiner, Saya bertanya pada diri sendiri mampukah World Silent Day menghentikan hiruk pikuk tersebut dan sementara itu relasi kemanusiaan akan dapat dirajut kembali.
Meraih Perhatian yang Terpecah. Kampanye perjuangan menuju World Silent Day bukanlah perjalanan yang mudah dan singkat. Berbagai bentuk pahit getirnya yang dirasakan akan menjadi pelajaran di masa mendatang. Mungkin itu kalimat yang dapat diungkap ketika melihat alat kampanye kita berakhir di tong sampah atau juga disia-siakan orang. Kalimat tersebut sebagai bentuk penghiburan sekaligus motivasi diri untuk tetap berjalan.
Berbagai langkah Saya lakukan untuk menarik perhatian peserta konferensi COP 14 UNFCCC di Poznan, Polandia. Tantangannya juga semakin berat karena kali ini World Silent Day tidak mendapat dukungan resmi dari penyelenggara serta juru kampanye yang hanya dua orang. Mulai dari memasang sticker di setiap pilar strategis, dialog langsung hingga mengganti wall paper komputer dengan banner WSD.
Sticker harus dipasang pada pilar yang sama karena keesokannya selalu saja dilepas petugas karena dianggap melanggar aturan di UN Compound. Begitu juga dengan nasib brosur yang diletakkan di stand tak bertuan juga menghilang entah ke mana. Dalam dialog langsung orang terkadang juga terlihat tidak begitu menghiraukan dan bergegas meninggalkan dengan terburu-buru. Penolakan demi penolakan telah terbiasa dirasakan.
Saya teringat bagaimana perjuangan panjang menuju Hari Bumi yang dirayakan setiap 22 April. Dibutuhkan waktu paling tidak lima tahun dan jutaan orang turun kejalan secara serentak pada hari itu untuk menyuarakan keprihatinan terhadap bumi. Namun tentu saja World Silent Day berbeda dengan Hari Bumi ataupun Hari Lingkungan Hidup yang cukup dirayakan dengan mengucapkan selamat saja.
World Silent Day memerlukan kesadaran bersama sehingga dapat bermanfaat lebih besar. Memang tidak semua orang berani melepaskan keistimewaan dan kenyamanan dunia materi dalam empat jam sekalipun. Apalagi hari ini manfaat hanya dihitung dalam deret angka mata uang pada setiap putaran jarum jam dengan ungkapan, “Time is Money.”
Tentu saja, Saya percaya bahwa di antara milliaran umat manusia di seluruh dunia masih ada yang peduli dengan keberlangsungan hidup di bumi. Dan itu adalah awal dari sebuah langkah bersama untuk mengembalikan empati atas bumi dan kemanusiaan yang selama ini tidak tersemaikan. Jika Bali, sebuah negeri dunia ketiga, saja bisa melakukannya, mengapa negeri yang katanya lebih beradab tidak bisa?